Senin, 25 September 2017

Sisi lain sejarah yang tak pernah (dibolehkan) muncul di Jaman Orde Baru

"Kami sebenernya bukan loyalis Soekarno. Hanya saja kami loyal pada pemerintahan yg sah."

Sisi lain sejarah yang tak pernah (dibolehkan) muncul di Jaman Orde Baru :

Pada hari-hari setelah peristiwa G-30-S, Brimob Polri tetap netral. Hal ini membingungkan banyak pihak.

Karena sikap ini sebagian pengamat menganggap Brimob sebagai unsur yang setia kepada Presiden Soekarno.Brimob jg melindungi Presiden Soekarno dari kudeta militer.

Brimob polri pasukan yg tidak pernah berkhianat pada negara dan setia pada NKRI.

Pada tahun 1950-an, Kesatuan-kesatuan Mobile Brigade aktif mengatasi berbagai gejolak yang bercorak pemberontakan melawan pemerintah yang sah ataupun berupa gerombolan bersenjata di seluruh Indonesia. Komisaris Polisi Tingkat I Moehammad Jasin yang pada saat itu sebagai Panglima Korp Mobile Brigadie (MB) Indonesia giat melaksanakan pembenahan organisasi dan pembinaan keterampilan dan kemampuan kesatuan MB untuk mengatasi berbagai gerakan pengacau keamanan tersebut.

Pada tahun 1953, Beliau mengirimkan kader MB untuk mengikuti pendidikan dan latihan “Rangers” di Filipina. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa para kader MB dapat belajar banyak dari keberhasilan pasukan Rangers Filipina dalam menumpas gerombolan bersenjata yang menamakan dirinya “Hukbalahap” di Negara itu. Karena berhasil mengatasi pemberontakan, metode ini dipandang ampuh dan patut dipelajari serta dijadikan pedoman untuk menanggulangi gerakan serupa di tanah air.

Setelah mengikuti pelatihan di Filipina, pasukan Mobile Brigade melakukan satu latihan uji coba di pegunungan Cirebon yang rawan dengan gerombolan pengacau bersenjata. Satu regu pasukan MB dikirim dipimpin oleh Andi Abdulrachman, seorang kader MB yang telah mengikuti pendidikan dan latihan Rangers di Filipina.

Pasukan tidak berseragam mulai bergerak pada siang hari untuk melakukan penyelidikan lokasi gerombolan dan tempat persembunyian pimpinannya. Setelah berhasil mengetahuinya, pada malam hari dilancarkan penyerbuan mendadak dan segera menghilang. Gerakan ini berfungsi sebagai perang urat saraf guna menciptakan kekalutan dan kebingungan di pihak gerombolan. Dalam gerakan ini, pasukan MB berhasil membunuh pimpinan gerombolan sehingga anak buahnya kocar-kacir dan masing-masing menyelamatkan diri. Dalam waktu singkat, daerah pegunungan Cirebon dinyatakan bersih dari gerakan pengacau bersenjata.

Keberhasilan uji coba itu menggugah hati pihak kementerian keamanan sehingga Panglima MB, Moehammad Jasin diminta mendirikan pendidikan Ranger. Atas usul itu, didirikan satu pusat pendidikan dan latihan Rangers di Lido (Bogor). Di tempat ini, dibangun satu asrama yang diperuntukkan bagi kesatuan kader-kader MB alumni dan pelatihan Rangers di Filipina.

Berdasarkan keterangan M. Jasin dalam buku berjudul Memoar Jasin sang Polisi Pejuang di halaman 185 dikatakan bahwa "kesatuan yang lebih dikenal dengan sebutan Batalyon Rangers ini mengenakan seragam militer loreng dan menggunakan tanda-tanda pangkat lapangan yang lengkap.  Pasukan inilah yang pertama kali menggunakan pakaian militer loreng di Indonesia."

Ada cerita antara pasukan korps Baret Merah RPKAD ini dengan Presiden Soekarno di senjakala kekuasaannya. Setelah mengeluarkan surat perintah 11 Maret 1966, kekuasaan Soekarno terus dipreteli. Soekarno memang masih presiden, tapi kekuasaan sudah dipegang Mayjen Soeharto .

Suasana Jakarta sangat menegangkan pada saat itu. Tentara berpatroli keliling kota dengan panser dan truk. Di setiap ruas jalan, satu regu tentara bersenjata dan kawat berduri merupakan pemandangan lazim.

Ceritanya, tanggal 18 Maret 1966, Soekarno akan berangkat ke Istana Bogor. Sesuai protap kepresidenan, Detasemen Kawal Pribadi (DKP) mengawal Soekarno . Mereka mengibarkan bendera kuning kepresidenan. Artinya jelas, ini rombongan resmi. Presiden bukan dalam keadaan incognito atau penyamaran.

Komandan DKP AKBP Mangil Martowidjojo menceritakan saat dramatis tersebut dalam buku Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang yang ditulis wartawan Senior Julius Pour, terbitan Kompas.

Baru berjalan puluhan meter, di depan sudah ada barikade. Mereka dicegat sepasukan RPKAD yang dipimpin seorang kapten di dekat Air Mancur, Jl Medan Merdeka Barat.

"Bapak berada di mobil nomor dua, paling depan jip DKP, nomor tiga mobil yang saya naiki dan ditutup oleh jip DKP. Begitu konvoi berhenti, sesuai prosedur, semua anak buah saya langsung berhenti melindungi mobil bapak sambil melepas kunci pengaman senjata," kata Mangil.

Saat itu DKP bersenjatakan senapan otomatis AR-15 yang lebih canggih dari yang dibawa RPKAD. Mangil tak takut menembak jika keselamatan Soekarno terancam.

"Stop, ini rombongan siapa? teriak kapten RPKAD itu.

Mangil menjawab tegas. "Kalau Kapten melihat bendera di mobil kedua, sebagai perwira ABRI harusnya tahu. Ini konvoi resmi Presiden Republik Indonesia."

"Tetap harus diperiksa," balas kapten berbaret merah itu.

Mangil tak mau kalah. "Silakan. Tetapi, sebelum kapten bergerak maka kami harus tembak lebih dulu. Sebab tanggung jawab kami sebagai DKP jelas tidak pernah mengizinkan perjalanan Presiden RI terhalang," tegas Mangil.

Dua perwira tersebut adu urat. Anak buah mereka bersiaga dengan tegang. Menggengam senapan yang siap menyalak. RPKAD adalah pasukan elite terbaik. Mereka juga yang membebaskan RRI dari tangan PKI. RPKAD menduduki Halim dan mereka juga yang akhirnya menemukan sumur tua di Lubang Buaya berisi jenazah para jenderal. Ini pasukan pemukul andalan Soeharto saat itu.
Tapi jangan remehkan DKP, mereka polisi pilihan. Sudah mengawal Soekarno sejak proklamasi dibacakan tanggal 17 Agustus 1945.

Kesetiaan DKP pada Soekarno sudah terbukti seratus satu persen. Keberanian mereka telah menyelamatkan Soekarno dari beberapa kali percobaan pembunuhan. Kali ini pun mereka siap bertempur habis-habisan.

RPKAD dan DKP, para prajurit yang siap tempur untuk membela apa yang mereka yakini.

Untunglah akhirnya Kapten RPKAD tersebut mengalah. Dia membiarkan rombongan Soekarno melintas tanpa perlu digeledah. Rombongan pun melaju mulus sampai Bogor.

Tapi Jenderal Soeharto tak membiarkan insiden itu berlalu begitu saja. Tanggal 23 Maret 1966, Soeharto membubarkan Tjakrabirawa. Pengawalan Istana diserahkan ke Polisi Militer Angkatan Darat. Tidak sampai di situ, tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto membubarkan DKP. Seluruh personel DKP dikembalikan ke Korps Brimob berdasarkan perintah Panglima Korps Brimob.

Soeharto akhirnya menahan Soekarno hingga proklamator ini meninggal dunia tanggal 21 Juni 1970.